Pada Agresi Militer Belanda ke-2 tahun 1948, Mbah Sri terpisah dari suaminya, Prawiro, yang pergi berperang. Setelah pertempuran berakhir, Prawiro tidak pernah kembali. Bertahun-tahun berlalu, Mbah Sri menjalani hidup sebagai janda hingga masa tuanya, kehilangan sahabat-sahabat terbaiknya yang kini dimakamkan di samping suaminya. Ia bertekad untuk menemukan tanah terbaik untuk pemakamannya, bersebelahan dengan makam orang yang dicintainya. Namun, ia tidak tahu di mana Prawiro dimakamkan. Suatu sore di tahun 2012, Mbah Sri bertemu dengan seorang tentara veteran yang mengenal Prawiro. Tentara itu memberi tahu di mana Prawiro tertembak oleh Belanda pada tahun 1949. Dengan informasi yang tidak lengkap, Mbah Sri memulai pencariannya untuk menemukan makam suaminya. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan berbagai orang yang berbicara tentang tanah; mereka yang memperjuangkan hak atas tanahnya dan mereka yang terpinggirkan. Bagi Mbah Sri, pencarian makam suaminya lebih dari sekadar perjalanan menelusuri sejarah cintanya; ini adalah perjalanan menyelami luka-luka sejarah bangsanya. Perjalanan ini mengarah pada penemuan fakta-fakta yang menyakitkan. Namun, bagi Mbah Sri, rasa sakit itu menjadi berkah, mengajarkannya tentang hakikat pasrah. Dengan sikap pasrah tersebut, ia meraih kemenangan, bahkan di tengah kekalahan. Sikap ini membawanya menemukan cinta dengan cara yang tak pernah ia duga.
sebagai Prapto, cucu Mbah Sri
sebagai Perempuan buta tetangga Mbah Tresno
sebagai Mbah Tresno, anak Kiai Husodo
sebagai Saksi sejarah
sebagai Yu Par
sebagai Saksi sejarah
sebagai Saksi sejarah
sebagai Anak Mbah Rejo
sebagai Calon istri Prapto
sebagai Saksi sejarah
sebagai Mbah Sri
sebagai Saksi sejarah
sebagai Saksi sejarah
sebagai Sopir Landrover
sebagai Saksi sejarah
sebagai Cucu Mbah Rejo
Belum ada ulasan dari pengguna.